Komitmen berkebangsaan harus terus diperkokoh.
KISAH pewayangan adalah salah satu seni budaya suku Jawa yang sarat filosofi kehidupan manusia. Tentang pertempuran antara hak dan batil, tentang semangat perjuangan, keberanian, kesetiaan, kehormatan, akhlak serta pengorbanan.
Dari banyak kisah pewayangan ini, Karna Tanding merupakan cerita lakon yang paling disukai dan dihayati secara mendalam oleh Edward Syah Pernong. Ternyata pemahaman tentang sosok kesatria Adipati Karna, Panglima Perang Kurawa ini begitu lengkap dan mendalam sampai nilai filosofinya.
Bagi Wakil Kepala Polda Maluku Utara ini, Adipati Karna adalah sosok kestaria terhormat yang martabatnya terletak pada kesetiaan, kehormatan, dan tanggung jawab melaksanakan kewajibannya sebagai kehormatan tertinggi. Adipati Karna mempertahankan Negara Astinapura yang diklaim sebagai haknya. Sehingga wajib dipertahankan oleh Adipati Karna.
Adipati Karna, kata Edward, tahu betul yang dilawannya kebenaran yang tak mungkin dikalahkan oleh kejahatan. Namun sebagai kestaria, baginya membela kehormatan negara adalah di atas dari segala-galanya. Sikap heroik Adipati Karna ini dikagumi Edward yang fasih menceritakan lakon Karna Tanding. "Saya sangat mengidolakan Adipati Karna sebagai sosok kestaria terhormat," ujar Edward yang juga memiliki gelar Sultan atau raja ke-23 di Kerajaan Adat Skala Brak, Provinsi Lampung kepada Jurnal Nasional beberapa waktu lalu.
"Dalam acara-acara resmi saat menjabat di satuan kewilayahan, terutama pada saat Hari Bhayangkara saya selalu minta dalang Ki Manteb Sudarsono untuk memainkan lakon Karna Tanding. Karena dari lakon ini ada filosofi tentang cinta Tanah Air dan kesetiaan terhadap tugas dan kewajiban. Ini hal yang tidak dapat ditawar lagi, right or wrong my country," kata pria 54 tahun ini.
Sebagai kesatria, kata Edward, Adipati Karna, berakhlak terpuji dan sangat hormat kepada Dewi Kunti, ibundanya. "Adipati Karna membuktikannya saat bertemu Dewi Kunti sebelum perang Baratayudha, ibundanya itu meminta agar Adipati Karna jangan membela keluarga Kurawa sebab sama saja dia akan berperang dengan saudara kandungnya, keponakan dan pamannya. Bahkan yang sangat penting, menurut ibunya membela Kurawa sama saja dengan membela kemungkaran."
Adipati Karna tidak bisa memenuhi keinginan ibunya. "Silakan ibu minta yang lain, termasuk nyawa saya, akan saya berikan kepada ibu. Tapi jangan suruh saya berkhianat kepada negara dan bangsa saya, apakah ibu mau memiliki anak seorang putra yang berkhianat terhadap bangsa dan negaranya," ujar Edward menirukan perkataan Karna kepada ibunya.
Dewi Kunti sebenarnya sangat bangga, sebab anaknya berjiwa kesatria, namun di satu sisi, dirinya resah sebab anak-anaknya akan saling berhadapan dan salah satu ada yang gugur. Entah itu Karna atau Arjuna. Lebih lagi Kunti, sebagai ibu yang melahirkan Karna, tahu betul anaknya ini memiliki kesaktian dan tidak bisa dikalahkan oleh siapa saja. Karna memiliki dua senjata yang tidak ada tandingannya, yakni rompi/konta kulit yang dipakainya sejak lahir, yang membuatnya tidak akan bisa tembus senjata apa pun.
Konta adalah senjata yang apabila seseorang terkena, maka tidak ada satu manusia pun yang dapat menghadapinya dan pasti tewas. Bahkan dewa sekalipun akan hancur terkena Konta. Dan senjata itu kalau sudah dilepas pasti mengenai sasaran, walau hanya untuk satu kali saja digunakan. "Baik, jika kamu tidak bisa bergabung dengan adik-adikmu, maka ibu minta rompi yang melekat di tubuhmu," ujar Kunti.
Tanpa berpikir dua kali, Karna seketika itu juga melepaskan rompi/kotang kulit yang ada di dadanya sebab hanya dia yang bisa melepaskan dan mencabut rompi tersebut dari tubuhnya, setelah itu barulah diberikannya kepada Dewi Kunti. "Apa yang dilakukan Karna, merupakan sebuah contoh ketaatan seorang anak kepada ibu kandungnya, apa pun akan diberikan untuk ibundanya. Namun kecintaan terhadap bangsa dan negara tidak bisa ditukar," kata Edward.
Dan benar, lanjut Edward, saat perang Baratayudha di Padang Kurusertra, antara Pandawa dan Kurawa, Adipati Karna sulit dikalahkan, termasuk oleh Arjuna. Akhirnya Gatotkaca, anak dari Bima yang berarti adalah keponakannya, terus berupaya memancing emosi Adipati Karna, agar senjata Konta digunakan. Dan ternyata pancingan tersebut berhasil, sehingga akhirnya Adipati Karna secara tidak sadar mengeluarkan senjata Konta yang hanya bisa dipergunakan satu kali. Akhirnya senjata Konta tersebutlah yang membunuh Gatotkaca hingga gugur.
Setelah tidak lagi ber-Konta, barulah Arjuna bisa mengalahkan dan membunuh Adipati Karna. Meski bukan perkara mudah bagi Arjuna untuk bisa mengalahkan Adipati Karna dalam waktu singkat. "Dibutuhkan strategi dan siasat cara licik sehingga Adipati Karna bisa gugur terkena panah dari Arjuna," kata Edward.
"Saya dari Lampung tapi selalu menyarankan lakon lain, seperti Semar Membangun Kayangan atau lahirnya Parikesit, atau Semar Membabar Jati Diri," kata Edward yang tetap meminta Karna Tanding sebagai lakon yang dimainkan.
Baginya, tugas kewajiban Bhayangkara adalah bertanding untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan sebagai wujud cinta kepada rakyat dan negara dengan mengayomi, melayani serta menegakkan hukum dengan tegas, tapi humanis. "Biasanya Ki Manteb puasa satu minggu sebelum digelarnya lakon Karna Tanding. Percaya atau tidak, satuan wilayah yang baru saja menggelar lakon Karna Tanding semangat anggotanya mengebu-gebu tidak mengenal capek serta mempunyai nyali yang tinggi, bertanding menegakkan keadilan dan kemanusiaan."
![]() |
Saat menjabat KAPOLDA LAMPUNG, Brigjend. Pol. Edward Syah Pernong. |
Kalau dilihat mengapa Amerika bisa malang melintang menjadi polisi dunia, karena masalah kebangsaan mereka sudah selesai. "Dan mereka sangat konsisten menjaga komitmen kebangsaan tersebut. Dan kita memang sejak 17 Agustus 1945, masalah kebangsaan sudah selesai. Tetapi kita sepertinya lemah menjaga komitmen tersebut."
Komitmen kebangsaan inilah menurut Edward yang harus terus menerus direvitalisasi agar kokoh bagai batu karang di tengah samudera. "Karena for a fighting nation there is no journey end artinya untuk bangsa yang berjuang, perjalanan tidak pernah berakhir."
"Hal lain terlihat misalnya, kita lebih bangga terhadap budaya luar daripada budaya bangsa sendiri, kita lebih cinta produk asing daripada produk dalam negeri. Melalui cerita ini, saya mengajak generasi muda untuk kembali menumbuhkan rasa nasionalisme," kata Edward yang pernah menjabat Kapolres Bekasi dan Jakarta Barat ini.
Bagi Edward, eksistensi sebagai suatu bangsa adalah merupakan sebuah produk sejarah yang sulit diterima akal. "Kecuali memang karena kehendak Tuhan yang memberikan karunia dan anugerah kita sebagai suatu bangsa. Karena bagaimana tidak rangkaian pulau yang begitu panjang dari Sabang sampai Merauke, mulai Miangas hingga Pulau Rote, yang terdiri dari 17.054 pulau, 585 bahasa dengan 1.000 lebih subkultur bisa bersatu dan menyatu dalam wadah NKRI," katanya. ( Muhammad Naviandri )
Tulisan ini terbit di Jurnas, Kamis, 21 Feb 2013
Sumber : http://www.jurnas.com/halaman/16/2013-02-21
Comments
Post a Comment