Prasasti Batu Bertulis " Hujung Langit" di Sekala Brak Disusun Oleh : Novan Saliwa ( Pemandu Seni Budaya Anjungan Lampung - TMII Jakarta ) |
Penyebaran Suku Bangsa
Bangsa
Indonesia berasal dari Assam yg terletak di India selatan, sebelah Utara Burma.
Suku Melayu kuno atau Proto Malayan Tribes dari India Selatan itu dalam
pengungsiannya, bergerak menyeberangi laut Andamen untuk kemudian berpencar
dalam beberapa kelompok, demikian J.R.Logan Pada tahun 1848 telah
mengemukakan teorinya.
Kelompok
kesatu bergerak ketimur melalui jawa dan Kalimantan dan ada yang terus keutara
di philipina yang kemudian melahirkan suku bangsa Igorot dan lain lain.
Kelompok kedua mencapai ujung utara sumatra menyusuri pantai barat mendarat di
singkel, Barus dan Sibolga, kemudian melahirkan cikal bakalnya suku suku Batak
Karo, Batak Toba, Dairi dan Alas. Kelompok ketiga meneruskan pelayarannya
menelusuri Pantai Barat Sumatra terus keselatan yang akhirnya melalui krui
menuju kedaerah pegunungan kembali sebagai Mountain People menetap di Gunung
Pesagi dan Seminung. Sebagai manusia gunung (mountain people) yang
splendid-isolation, hidup bersatu dengan alam sekitarnya. Mereka percaya akan
kekuatan gaib (fatisyme). Dan juga berusaha menggunakan kekuatan gaib itu
(magie). mereka percaya bahwa dipuncak puncak gunung adalah tempat tempat roh
yg tertinggi bersemayam (animisme), oleh karna itu dalam perkembangan
selanjutnya, keturunan mereka mengambil tempat didaerah ketinggian seperti Gunung
Pesagi. Namun demikian pengalaman nenek moyang mereka, yang bergerak
mengarunggi samudra luas dalam melakukan pengungsian besar besaran membentuk
karakter "dwi muka" sebagai manusia gunung dan tau akan arti laut
karna itu mereka kemudian menyebar dari Gunung Pesagi dan Seminung menuju
dataran rendah disekitarnya untuk mendirikan kelompok bernama Sekala Brak. Hal
diatas memiliki benang merah dengan tulisan William Marsden melalui
sejarah Sumatra, terbit pertama kali pada tahun 1779 dengan judul The History
Of Sumatra, beberapa kali diterbitkan ulang, pada tahun 2008 terbit dalam versi
bahasa Indonesia, menulis bahwa apabila Orang Lampung ditanya tentang darimana
mereka berasal, maka mereka menjawab dari dataran tinggi dan menunjuk kearah
gunung yang tinggi serta sebuah danau yang luas ( Marsden, 2008). Gunung dan
danau yang dimaksud adalah gunung Pesagi dan danau Ranau.
Seorang ahli sejarah Lawrence
Palmer Briggs dalam jurnalnya tahun 1950 menyebutkan bahwa sebelum tahun 683
Masehi, ibukota Sriwijaya terletak di daerah pegunungan agak jauh dari
Palembang. Tempat itu dipayungi oleh dua gunung dan dilatari sebuah dangau
(Keresidenan Lampung dan Palembang). Itulah sebabnya sailendra dan keluarganya
disebut “ Family of the King of the Mountains (Sailendravarmsa)”.
Situs Megalitikum di Sekala Brak |
Arlan Ismail dalam bukunya
Periodisasi Sejarah Sriwijaya : 2003, menyebutkan bahwa Sakala Bhra menunjukkan
pada identitas suku bangsa yang menempati satu tempat di lembah utara gunung
seminung yang merupakan basis wilayah Sriwijaya pemula. Mereka mengenal diri
mereka sebagai wangsa Sakala Bhra.
Sekala Brak dianggap sebagai
symbol peradaban, kebudayaan dan eksistensi Orang Lampung, betapa tidak, banyak
anak buay (keturunan) Ulun Lampung yang telah menyebar diberbagai penjuru masih
mengakui sekala brak sebagai asal mula mereka, karena di tanah bumi sekala brak
peradaban sejak sebelum masehi sudah dimulai dengan ditemukannya komplek situs
megalitikum batu brak yang terdiri dari ratusan dolmen dan menhir, selain itu
situs batu bertulis dan sisa – sisa peninggalan perkampungan kuno juga tersebar
diwilayah Sekala Brak sekitar Gunung Pesagi.
Secara etimologi dapat kita
ketahui kata Sekala Brak ( Beghak ) tergolong dalam bahasa sansekerta diartikan
sebagai Titisan Yang Mulia. Dan penyebutan Lampung sendiri berasal dari kata
“Anjak Lambung” yang artinya dari dataran tinggi yakni wilayah gunung pesagi
yang merupakan gunung tertinggi di Lampung.
Sekala Brak Kuno
Di lereng gunung tertinggi di
Lampung itu hidup sebuah suku purba yang bernama suku Tumi. Ahmad Safei,
Saibatin Kepaksian Buay Belunguh, Paksi Pak Sekala Bgha, didalam bukunya Sekala
Brak Asal Usul Lampung mengatakan suku Tumi berasal dari India yang datang ke
wilayah dataran tinggi Lampung Barat beberapa millennium sebelum masehi. Safei
menambahkan nama suku Tumi berasal dari asal nama Tamil, sebuah suku bangsa
yang masih ada hingga sekarang di India (Ahmad Safei, 1972).
Dari sebuah negeri penghasil
kapur barus dan kain bermotif bebungaan dan elang yang terletak di ujung
Sumatera dari lereng Gunung Pesagi, menurut sebuah catatan sejarah diketahui
ada seorang lelaki bernama Taruda, ia merupakan utusan raja Sekala Bgha untuk
menjalin persahabatan dengan kekaisaran China. Tarikh purba mencatat bahwa
kedatangan Taruda pertama kali ke China adalah pada tahun 441 Masehi. Ia
disebutkan membawa bermacam-macam hadiah di antaranya kapur barus yang kala itu
merupakan salah satu hasil bumi negeri Sekala Bgha ( Artikel Asal-usul Nenek
Moyang Masyarakat Sai Batin : Dr. M. Harya Ramdhoni Julizarsyah Sai Batin Marga
Liwa ).
Pengelana dari Cina, I Tsing
(635-713) pernah berada di Jambi dan konon pernah menetap di Sriwijaya
selama 10 Tahun (685 – 695). Dalam perjalanan itu menyebut “ To Lang Pohwang”
bahasa hokian yang berarti “ Orang Atas” atau “Orang Orang yang berada diatas”.
I Tsing menunjuk orang - orang yang tinggal di lereng gunung pesagi atau suku
tumi. Prasasti Hujung Langit ( Hara Kuning ) bertarikh 9 Margasira 919 Caka / akhir abad 9 M yang ditemukan di Bunuk Tenuar Liwa terpahat nama raja di daerah Lampung.
Prasasti ini terkait dengan Kerajaan Sekala Brak kuno yang masih dikuasai oleh
Buay Tumi, Prof. Dr. Louis-Charles Damais dalam buku epigrafi dan Sejarah
Nusantara yang diterbitkan oleh pusat Penelitian Arkeolog Nasional, Jakarta,
1995, halaman 26 – 45, diketahui bahwa nama Raja yang tercantum pada Prasasti
Hujung langit adalah Punku Aji Yuwarajya Sri Haridewa, ia adalah satu - satunya Raja di Tanah Lampung yang meninggalkan Prasasti.
Gelar yang disandang
oleh Sri Haridewa salah satunya adalah Pun atau Pu, yang merupakan gelar
kehormatan bagi kebangsawanan seseorang sebagaimana banyak keluarga di kerajaan
San-fo-ts'i yang bergelar pu. Begitu juga gelar Pu yang bersanding dalam kata
DAPUNTA maka gelar dapunta harus diperuntukkan bagi orang yang amat tinggi
kedudukannya. Kehormatan yang amat tinggi itu ditunjukkan dengan
bubuhan da-, -ta, dan sebutan hyang. Demikian keterangan makna gelar Pu dalam
buku Sriwijaya yang ditulis oleh Prof. Dr. Slamet Muljana diterbitkan LKIS. Dan
hingga kini diwilayah Sekala Brak sebutan Pun masih dilanjutkan sebagai panggilan kehormatan
bagi seorang Sai Batin atau Sultan Kepaksian di Kerajaan Adat Paksi Pak
Sekala Brak.
Raja yang pernah berkuasa di
Sekala Brak diantaranya La Laula, ia bersama sekelompok pengikutnya tiba di
Sekala Bgha dari Hindia Belakang (sekitar Vietnam dan Kamboja) pada awal abad
Masehi dengan menggunakan kapal kano. La Laula tiba di sebuah negeri yang
dipenuhi pohon Sekala di mana di sana telah berdiam suatu entitas masyarakat
yang bernama Suku Tumi. Kehadiran La Laula yang lambat laun berhasil menarik
pengikut, membuatnya berhasil menaklukkan suku Tumi dan mendudukkan dirinya
sebagai raja Kerajaan Sekala Bgha. Kemudian tersebut pula nama Raja Sri Hardewa
(Prasasti Bunuk Tenuar 997 M), Tambo Paksi Pak Sekala Bgha mencatat di
antaranya Sangkan (abad 12 Masehi) Mucca Bawok (abad 12-13 Masehi) dan
Sekeghumong (abad 13 Masehi ).
Kepaksian Sekala Brak (
Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak )
Berdasarkan Tambo Sekala Brak
dijelaskan bahwa dataran Sekala Brak yang pada awalnya dihuni oleh suku bangsa
Tumi ini menyembah sebuah pohon yang bernama Belasa Kepampang atau nangka
bercabang karena pohonnya memiliki dua cabang besar, yang satunya nangka dan
satunya lagi adalah sebukau yaitu sejenis kayu yang bergetah. Keistimewaan
Belasa Kepampang ini bila terkena cabang kayu sebukau akan dapat menimbulkan
penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya, namun jika terkena getah cabang
nangka penyakit tersebut dapat disembuhkan. Karena keanehan inilah maka Belasa
Kepampang ini diagungkan oleh suku bangsa Tumi. Selaras pula dengan warahan
masyarakat komering, sebagaimana juga ditulis Zawawi Kamil (Menggali Babad
& Sedjarah Lampung) disebutkan dalam sajak dialek Komering/Minanga: "Adat
lembaga sai ti pakaisa buasal jak Belasa Kapampang, Sajaman rik tanoh
pagaruyung pemerintah bunda kandung, Cakak di Gunung Pesagi rogoh di Sekala
Berak, Sangon kok turun temurun jak ninik puyang paija, Cambai urai ti usung
dilom adat pusako" Terjemahannya berarti "Adat Lembaga yang digunakan
ini berasal dari Belasa Kepampang (Nangka Bercabang), Sezaman dengan ranah
pagaruyung pemerintah bundo kandung, Naik di Gunung Pesagi turun Sekala Berak,
Memang sudah turun temurun dari nenek moyang dahulu, Sirih pinang dibawa di
dalam adat pusaka, Kalau tidak pandai tata tertib tanda tidak berbangsa".
Ketika para mujahid dan
pendakwah islam datang dari Pasai melewati pagaruyung, kemudian sampai di wilayah Kerajaan Sekala Brak maka ditaklukkan dan
dikalahkanlah suku bangsa Tumi bersama Raja terakhir mereka Ratu
Sekeghumong, kemudian sesembahan mereka yaitu “ Melasa/ Belasa Kepampang”
ditebang dan kayunya dibuat singgasana oleh Para Pendakwah, tempat duduk atau
singgasana itu disebut Pepadun. Dengan ditebangnya pohon Belasa Kepampang ini merupakan pertanda jatuhnya kekuasaan suku bangsa Tumi sekaligus hilangnya faham animisme di kerajaan Sekala Brak selain itu juga makna tersyirat alasan dijadikannya Kayu Sesembahan menjadi tempat
duduk adalah upaya mengubah keyakinan suku tumi bahwa Tuhan sejatinya tidak
bisa diduduki.
Pada mulanya Pepadun dibuat sebagai tempat duduk atau singgasana yang hanya dapat digunakan atau diduduki pada saat penobatan SAIBATIN/ Raja- Raja dari Paksi Pak Sekala Brak serta para keturunannya, namun pada perkembangannya saat ini Pepadun juga menjadi istilah penyebutan bagi masyarakat yang menganut sistem kepenyimbangan ( abung siwo mego, buay lima way kanan, mego pak tulang bawang dan pubian telu suku ) sedangkan masyarakat Lampung yang menganut sistem kesaibatinan atau melestarikan nilai kebangsawanan disebut masyarakat adat Sai Batin ( Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak, Marga - Marga Adat yang ada di wilayah Ranau, sepanjang pesisir bagian barat hingga selatan Lampung ), akan tetapi walau demikian keduanya tetaplah satu sebagai Ulun Lampung, Jelma Lampung, Suku Lampung yang asal nenek moyang mereka adalah dari Sekala Brak.
Pada mulanya Pepadun dibuat sebagai tempat duduk atau singgasana yang hanya dapat digunakan atau diduduki pada saat penobatan SAIBATIN/ Raja- Raja dari Paksi Pak Sekala Brak serta para keturunannya, namun pada perkembangannya saat ini Pepadun juga menjadi istilah penyebutan bagi masyarakat yang menganut sistem kepenyimbangan ( abung siwo mego, buay lima way kanan, mego pak tulang bawang dan pubian telu suku ) sedangkan masyarakat Lampung yang menganut sistem kesaibatinan atau melestarikan nilai kebangsawanan disebut masyarakat adat Sai Batin ( Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak, Marga - Marga Adat yang ada di wilayah Ranau, sepanjang pesisir bagian barat hingga selatan Lampung ), akan tetapi walau demikian keduanya tetaplah satu sebagai Ulun Lampung, Jelma Lampung, Suku Lampung yang asal nenek moyang mereka adalah dari Sekala Brak.
![]() |
Tambo - Kulit Kayu Sekala Brak betulis Aksara Lampung berisi Silsilah Raja - Raja dan batas Wilayah Kekuasaan |
Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak
berdiri, melanjutkan kebesaran kerajaan sekala brak kuno dengan memasukkan
nilai-nilai agama Islam yang Mulia, pemerintahan dibagi menjadi empat wilayah
kekuasaan oleh keturunan empat bersaudara, yaitu :
1.
Umpu Pernong berkuasa di Kepaksian Pernong, Ibu Negeri Hanibung ( Batu Brak )
2.
Umpu Nyerupa berkuasa di Kepaksian Nyerupa, Ibu Negeri Tampak Siring ( Sukau )
3.
Umpu Belunguh berkuasa di Kepaksian Belunguh, Ibu Negeri Tanjung Menang
(Kenali).
4. Umpu
Jalan Di Way berkuasa di Kepaksian Jalan Di Way, Ibu Negeri Puncak (Kembahang)
Umpu berasal dari kata Ampu
seperti yang tertulis pada batu tulis di Pagaruyung yang bertarikh 1358 A.D.
Ampu Tuan adalah sebutan Bagi anak Raja Raja Pagaruyung Minangkabau.
Alkisah setibanya di Sekala
Brak keempat Umpu bertemu dengan seorang Muli ( gadis ) yang ikut menyertai
para Umpu dia adalah Si Bulan. Di Sekala Brak keempat Umpu tersebut mendirikan
suatu perserikatan yang dinamai Paksi Pak yang berarti Empat Serangkai atau
Empat Sepakat. Setelah perserikatan ini cukup kuat maka suku bangsa Tumi dapat
ditaklukkan dan sejak itu berkembanglah agama Islam di Sekala Brak. Suku Tumi yang menolak dakwah ajaran islam yang disebarkan oleh Paksi Pak
melarikan diri ke wilayah Pesisir bagian barat ( sekarang krui ), namun
berhasil ditaklukkan oleh lima punggawa utusan dari sekala brak, kelima
punggawa itu sampai saat ini dikenal dengan Punggawa Lima yang menjadi nama
daerah di wilayah Pesisir Barat Krui.
Sedangkan Si Bulan, berkat
kesetiaannya serta ikut membantu perjuangan dakwah Paksi Pak, maka diberi
penghargaan sebagai “ Nabbai Paksi” atau saudara Paksi Pak, menerima kedudukan
sebagai bendahara Paksi Pak sehingga disebutlah dengan Buay Nekhima, selain itu
ia diberi wilayah di daerah Cenggiring,akan tetapi seiring perjalanan waktu
kemudian Si Bulan / Putri Bulan / Putri Indrawati ini hijrah dari Sekala Brak
menuju kearah matahari hidup ada yang menyebutnya negeri menggala. Oleh karena Si Bulan hijrah maka atas permufakatan dari keempat Paksi tugasnya sebagai bendahara Paksi dipercayakan kepada seorang keturunan dari Si Bulan yaitu Si Nyata yang ada di Pekon Luas, ia lah yang melanjutkan tugas untuk menyimpan pusaka-pusaka Paksi Pak termasuk Pepadun dan kemudian diberi kedudukan didalam Paksi Buay Belunguh sebagai pangtuha di wilayah Pekon Luas, kepadanya diberikan gelar Raja secara turun temurun.
Pada Tahun 1939 terjadi
perselisihan diantara keturunan Si Nyata, memperebutkan keturunan yang tertua
atau yang berhak menyimpan Pepadun. Maka atas keputusan kerapatan adat Paksi
Pak Sekala Brak dan disepakati pula oleh Keresidenan kala itu, maka Pepadun tersebut
disimpan di Lamban Gedung Kepaksian Belunguh hingga sekarang.
Suku bangsa Lampung, baik yang
berada di daerah Lampung, Palembang, dan Pantai Banten berpengakuan berasal
dari Sekala Brak. Perpindahan Warga Negeri Sekala Brak ini bukannya sekaligus
melainkan bertahap dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh beberapa peristiwa
penting didalam sejarah seperti:
- Ketika suku bangsa Tumi yang mendiami Sekala Brak melarikan diri dan Skala Brak jatuh ketangan Paksi Pak Sekala Brak, hingga mereka menyebar kedaerah lain.
- Adanya bencana alam berupa gempa bumi yang memaksa sebagian Warga Negeri Sekala Brak untuk berpindah dan mencari penghidupan yang baru.
- Adanya hubungan yang erat antara Paksi Pak dengan Kesultanan Banten, sehingga banyak keturunan sekala brak yang berada di Cikoneng Banten hingga saat ini.
- Keinginan Masyarakat Sekala Brak untuk “Ngebujakh Lain Miccakh” yang artinya mendirikan daerah baru ataupun kampung baru untuk membesarkan adat bukan memisahkan diri. Sehingga saat ini banyak kelompok masyarakat yang sudah berbentuk Marga Adat dan Bandar adat, tersebar disepanjang pesisir wilayah Lampung, para pemimpin adat di Marga atau Bandar tersebut adalah juga para bangsawan keturunan Paksi Pak Sekala Brak.
Piagam Sultan Banten Abad 16 untuk Kepaksian Nyerupa Sekala Brak |
Perpindahan penduduk dari
Sekala Brak ini sebagian mengikuti aliran Way Komring yang dikepalai oleh
Pangeran Tongkok Podang, untuk seterusnya beranak pinak dan mendirikan Pekon
atau Negeri. Kesatuan dari Pekon Pekon ini kemudian menjadi Marga Atau Buay
yang diperintah oleh seorang Saibatin di daerah Komring –Palembang. Sebagian
kelompok lagi pergi kearah Muara Dua, kemudian menuju keselatan menyusuri
aliran Way Umpu hingga sampai di Bumi Agung. Kelompok ini terus berkembang dan
kemudian dikenal dengan Lampung Daya atau Lampung Komring yang menempati daerah
Marta Pura dan Muara Dua di Komring Ulu, serta daerah Kayu Agung dan Tanjung
Raja atau Komring Ilir.
Kelompok yang lain yang
dipimpin oleh Puyang Rakian dan Puyang Nayan Sakti menuju ke Pesisir Krui dan
menempati Pesisir Krui mulai dari Bandar Agung di selatan pesisir hingga Pugung
Tampak dan Pulau Pisang di utara. Kelompok yang dipimpin oleh Puyang Naga
Berisang dan Ratu Piekulun menyusuri Way Kanan menuju ke Pakuan Ratu,
Blambangan Umpu dan Sungkai Bunga Mayang di barat laut Lampung untuk meneruskan
jurai dan keturunannya hingga meliputi sebagian utara dataran Lampung.
Adipati Raja Ngandum memimpin
kelompok yang menuju ke Pesisir Selatan Lampung Mengikuti aliran Way Semangka
hingga kehilirnnya di Kubang Brak. Dari Kubang Brak sebagian rombongan ini
terus menuju kearah Kota Agung, Talang Padang, Way Lima hingga ke selatan
Lampung di Teluk Betung, Kalianda dan Labuhan Maringgai. Daerah Pantai Banten
yang merupakan daerah Cikoneng Pak Pekon adalah wilayah yang diberikan sebagai
hadiah kepada Umpu Junjungan Sakti dari Kenali -Buay Belunguh setelah menumpas
kerusuhan yang diakibatkan oleh Si Buyuh.
Sebagian lagi yang dikepalai
oleh Menang Pemuka yang bergelar Ratu Di Puncak menyusuri sepanjang Way Rarem,
Way Tulang Bawang dan Way Sekampung. Menang Pemuka atau Ratu Di Puncak memiliki
tiga orang istri, istri yang pertama. berputera Nunyai, dari istri kedua
memiliki dua orang anak yaitu seorang putera yang diberi nama Unyi dan seorang
puteri yang bernama Nuban, sedangkan dari istri ketiga yang berasal dari
Minangkabau memiliki seorang putera yang bernama Bettan Subing. Jurai Ratu Di
Puncak inilah yang menurunkan orang Abung. Jurai Ratu Nyerupa Sekala Brak juga
yang mendirikan Marga Nyerupa di Komering Seputih Lampung Tengah. Sedangkan
Buay Bulan Tulang Bawang adalah keturunan dari Indarwati yang Bergelar Putri
Bulan yang pada awalnya berkedudukan di Cenggiring Sekala Brak.
Kerajaan Sekala Brak lestari
hingga kini, sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ),
ketika Kerajaan tidak lagi memegang tampuk Pemerintahan, sekala brak menjelma
menjadi Kerajaan Adat dengan sebutan Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak,
dengan tujuan memelihara dan mengembangkan adat dan budaya “Sai Batin” dan
menjaga kearifan local.
Lambang Kerajaan Paksi Pak
Sekala Brak “ Cambai mak Bejunjungan” mempunyai falsafah bahwa kerajaan Adat
Paksi pak Sekala Brak dapat berdiri tegak kokoh dan kuat berdikari. Batas –
batas wilayah masing masing kepaksian masih sangat jelas, “ Gedung Dalom”
sebutan untuk Istana masih berdiri tegak, “ Pemanohan”/ pusaka terpelihara,
Raja atau Sai Batin” tetap turun menurun, struktur pemerintahan tertata rapi
mulai tingkat paksi, marga, suku, kampung, dan kelompok rumah.
DAFTAR PUSTAKA
D.L. Tobing, Binsar, Prasasti Hujung Langit 919 Saka, Skripsi,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2004.
Hadikusuma, Hilman, Bahasa Lampung, Jakarta : Fajar Agung,
1988.
Hadikusuma, Hilman, Masyarakat dan Adat Budaya Lampung,
Bandung: Mandar Maju, 1989.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat
Istiadat Daerah Lampung, 1977/1978.
Ramdhony, M. Harya, Lampung Barat Dalam Lintasan Sejarah, Makalah
Seminar Kepemudaan IKPM Lam-Bar Jogja, 2009.
Syafei, Ahmad, Sekala Brak : Asal Usul Suku Bangsa Lampung,
Dususun untuk kalangan sendiri, 1972. Buku Selayang Pandang Kepaksian Jalan Di
Way
- Wawancara Sultan Kepaksian Pernong
- Wawancara Sultan Kepaksian Nyerupa
- Selayang Pandang Kepaksian jalan Di Way - Buku Tidak Diterbitkan - Untuk Kalangan Sendiri
- Wawancara Sultan Kepaksian Nyerupa
- Selayang Pandang Kepaksian jalan Di Way - Buku Tidak Diterbitkan - Untuk Kalangan Sendiri
- Wawancara Ina Dalom Yusnanni
Kepaksian Belunguh.
- Pada Mulanya Sekala Brak
: Yhannu Setiawan ; Buku Terbitan Clean Community Press
Comments
Post a Comment