JANGAN LAGI ADOK LAMPUNG DIOBRAL
( Oleh : Novan Saliwa * )
Sedang menjadi perbincangan berbagai pihak, baik di media sosial maupun media massa, seremoni yang digelar oleh tokoh Marga Melinting Lampung Timur, yaitu acara Seangkonan Muaghei dari Sulaiman adok Khadin Surya kepada Dr. Ir. Mustafa yang sedang digadang –gadang menjadi Calon Gubernur Lampung, dengan sebuah prosesi adat diantaranya tari cangget, Mustafa dinyatakan telah masuk dalam lingkungan adat Marga Melinting dan diberi adok Pangeran Nata Mergo oleh Kepala Marga Melinting Sultan (red. Sutan Marga) Ratu Idil Muhammad Tihang Igama.
Para tokoh Marga Melinting diatas mencoba melegitimasi atas nama seluruh masyarakat adat Saibatin Marga Melinting di Lampung timur dengan memberikan penghargaan berupa gelar yang cukup tinggi didalam adat sai batin yaitu Pangeran kepada seorang tokoh yang dianggap sangat menjunjung tinggi budaya Lampung, demikian ditegaskan Ketua Forum Kesenian Melinting yaitu Zakaria, seperti yang tertulis dalam laman website partai nasdem (23/5/2015).
Menarik untuk kita kritisi prosesi pemberian gelar ini, baik dari sudut pandang adat Sai Batin maupun dari sudut situasi politik terkini di Provinsi Lampung, mengingat suasana menjelang pelaksanaan Pemilihan Gubernur Lampung tahun 2018 mulai menghangat, para bakal calon pun sudah mulai bergerak kesana kemari untuk mendulang dukungan, masuk dari segala lini dan tak malu-malu meski masuk pula lewat adat istiadat, demi menggaet konstituen, ya memang, karena ini pesta demokrasi bagi seluruh masyarakat Lampung, hak memilih pemimpin untuk provinsi paling selatan pulau Sumatra ini kedepan.
Provinsi Lampung dengan semboyannya Sang Bumi Ruwa Jurai memang telah kita ketahui bersama bahwa masyarakat adatnya menganut dua sistem, yaitu sistem kepenyimbangan dan kesaibatinan, sistem kepenyimbangan ini sebagian besar dipakai oleh masyarakat Abung Siwo Mego, Mego Pak Tulang Bawang, Buay Lima Way Kanan dan Pubian Telu Suku, begitu juga sistem kesaibatinan dipakai oleh masyarakat adat Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak dan juga Marga- Marga yang ada di Pesisir Barat, Tanggamus, Way Handak Lampung Selatan, dan Marga Melinting di Lampung Timur. Keberadaan lembaga adat pada masing-masing daerah di Lampung, baik itu Kepaksian, Marga atau Kebandaran memang telah ada lebih dahulu sebelum provinsi Lampung berdiri, keberadaaanya adalah sebagai wujud kelestarian adat istiadat dan tradisi yang diwariskan Nenek Moyang orang Lampung, bagi mereka yang berkedudukan sebagai Sai Batin Paksi, Sai Batin Marga, Sai batin Kebandaran, Penyimbang Mergo, Penyimbang Tiyuh atau Penyimbang Suku memiliki tugas turun temurun untuk mengayomi setiap masyarakat adatnya, menghormati setiap kedudukan dan menjalankan tata titi.
Nah, dengan melihat fenomena pemberian adok di Marga Melinting seperti yang telah disinggung diatas, maka dari sudut pandang Masyarakat Adat Sai Batin secara umum terdapat beberapa persoalan tak wajar, yaitu bahwa jika ditarik benang merahnya maka kaidah adok didalam adat saibatin itu adalah “ adok nitutuk tutukh, tutukh nutuk di jujjokh” artinya bahwa pada gelar melekat panggilan, dan panggilan disusuaikan dengan kedudukan, ini menunjukkan bahwa syarat utama seseorang diberikan adok adalah telah diserahkan kepadanya suatu kedudukan, tanpa kedudukan tak ada gelar, atau dengan kata lain tak ada gelar yang tak memiliki kedudukan. Kedudukan tertinggi disebuah marga adalah Kepala marga atau Sai Batin Marga maka dengannyalah seseorang digelari Suntan atau Pangeran. Jadi mana mungkin didalam adat sai batin, seseorang diberikan adok Pangeran akan tetapi tak memiliki kedudukan sebagai Sai Batin Marga ataupun Sai batin bandar.
Adat sai batin dipakai dan dijaga oleh masyarakat yang berada di sekitar Danau Ranau, sepanjang Pesisir Barat, Teluk Semaka Tanggamus, hingga Wilayah Selatan dekat selat Sunda. Semua marga-marga itu sangat ketat mengatur tentang “angkat tindih uncuk pangkal” suatu gelar, melalui musyawarah ( Hippun ) berjenjang oleh para tokoh adat. Apalagi terkait gelar Pangeran atau Suntan yang merupakan gelar kebangsawanan bagi seorang pemimpin Marga, begitu juga adok Sultan untuk kedudukan Sai Batin Paksi didalam Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak. Akan tetapi, sebetulnya bukan hanya adat Sai Batin yang memiliki tatanan yang ketat untuk sebuah gelar, masyarakat Pepadun sangat memperhatikan syarat-syarat yang berat untuk menetapkan seseorang menjadi seorang penyimbang atau menyandang sebuah gelar lewat upacara Cakak Pepadun.
( Baca Juga : Tata Petiti Adok Lampung )
Jadi, jika seorang tokoh adat atau Sai Batin memberi kedudukannya kepada orang lain yang tak memiliki garis ikatan darah dan tidak sesuai aturan adat, itu sama saja seperti “ Melok Galah “ atau memenggal leher sendiri, dan begitu juga jika seorang mengambil sesuatu yang bukan haknya atau mengenakan pakaian yang bukan pakaiannya sendiri disebut “ Bekhattih “ yang artinya Penyamun atau Pencuri, atau juga memakai pakaian tapi tidak pantas dan melebihi kapasitas “ makai kaway kebalakan “ disebut dengan “ Busuk Huwak”. Itu semua adalah pelanggaran didalam adat, bisa menyebabkan keturunannya nanti akan menanggung “tulah” dari nenek moyang disebabkan perilaku seseorang itu “ Nyapang Cempala “ atau melangkahi batas batas aturan adat atau tak mampu memegang amanah yang telah diwariskan nenek moyang.
Pomeo didalam masyarakat adat saibatin “ Minak lain Khadin lain, Batin Khaja juga lain, Temenggung lain munih, Sai Batin jawoh tangih, Kaci Nyelambok Dinar ya Tetop Kaci, Inton dilom Litak tetop Inton “, ini sebuah ungkapan yang merupakan teguran keras bagi seorang yang menyandang sesuatu yang bukan haknya, ibarat anjing walaupun berkalung dinar akan tetap disebut anjing, tapi walaupun intan didalam lumpur busuk sekalipun tetaplah intan.
Selain itu, penolakan pemberian gelar dari Tokoh Marga Melinting Rizal adok Sultan Ratu Idil Tihang Igama sebenarnya juga telah disampaikan oleh kakak sepupunya yaitu Nur Halim adok Minak Gejalo Ratu, kejadian tersebut terjadi saat Rizal memberi gelar kepada Bupati dan Kapolres Lamtim pada tanggal 21 April 2017. Minak Nur Halim bukanlah orang asing di Marga Melinting, beliaulah keturunan laki-laki tertua dari garis lurus Ratu Melinting, ia juga yang mewarisi Pusaka Anak Dalem yakni Pusaka Secembay, Secendik dan Si Jengguk Rawing, ketiga pusaka tersebut merupakan Pusaka Tertinggi didalam adat Melinting. Minak menegaskan agar praktek pemberian gelar dan semacamnya dibatalkan demi kesatuan dan persatuan keturunan. Lebih dari itu gelar Sultan yang di pakai Rizal juga sangat tidak sesuai didalam Adat Sai Batin sebab ia bukanlah berkedudukan sebagai Sai Batin Kepaksian, dan lagi ia bukanlah keturunan laki-laki tertua dari Ratu Melinting melainkan Nur Halim adok Minak Gejalo Ratu.
Dari sekian banyak pemberian gelar, lebih mengesankan seolah-olah adok Lampung adalah sesuatu yang begitu murahnya, dapat dengan mudah diberikan kepada siapapun asalkan dianggap penting bagi segelintir kepentingan para elit. Memang ini bukan “mainan” baru, setidaknya banyak tokoh yang diberikan adok, tetapi mari kita kroscek kembali, apa faedah bagi adat istiadat atas diobralnya adok-adok tersebut ?. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, marilah kita kembali mengintropeksi diri sejauh mana kita menjaga keluhuran adat Lampung, jangan sampai ada kesan bahwa adok hanyalah sebagai pemuas nafsu segelintir mereka yang disebut sebagai penyimbang kemawasan, seperti yang diistilahkan oleh alm. Irfan Anshory adok Batin Kesumaningrat tokoh adat dari Talangpadang, Tanggamus, yang sering memprotes praktek-praktek pemberian gelar tanpa memperhatikan kaidah adat.
Menurut hemat saya, penyimbang kemawasan yang dimaksud adalah siapapun yang tiba-tiba merasa menjadi seorang tokoh adat, tanpa memiliki wilayah adat, tanpa memiliki kedudukan adat, tanpa memiliki warisan pusaka apalagi masyarakat yang diayomi, kemudian berbuat sekehendak hati demi sesuatu yang sangat pragmatis yakni uang dan kekuasaan, ia tak lagi mementingkan keluhuran adat istiadat, tak lagi punya harga diri atau Pi’il Pesenggiri sebuah falsafah hidup Ulun Lampung.
*Seniman dan Pemerhati Budaya Lampung, Staff Pemandu Seni Budaya Anjungan Lampung TMII - Jakarta.
( Oleh : Novan Saliwa * )
![]() |
Lima SAI BATIN MARGA bergelar Pangeran dari wilayah Way Handak Lampung Selatan ( Foto : Endang Guntoro Canggu ) |
Sedang menjadi perbincangan berbagai pihak, baik di media sosial maupun media massa, seremoni yang digelar oleh tokoh Marga Melinting Lampung Timur, yaitu acara Seangkonan Muaghei dari Sulaiman adok Khadin Surya kepada Dr. Ir. Mustafa yang sedang digadang –gadang menjadi Calon Gubernur Lampung, dengan sebuah prosesi adat diantaranya tari cangget, Mustafa dinyatakan telah masuk dalam lingkungan adat Marga Melinting dan diberi adok Pangeran Nata Mergo oleh Kepala Marga Melinting Sultan (red. Sutan Marga) Ratu Idil Muhammad Tihang Igama.
Para tokoh Marga Melinting diatas mencoba melegitimasi atas nama seluruh masyarakat adat Saibatin Marga Melinting di Lampung timur dengan memberikan penghargaan berupa gelar yang cukup tinggi didalam adat sai batin yaitu Pangeran kepada seorang tokoh yang dianggap sangat menjunjung tinggi budaya Lampung, demikian ditegaskan Ketua Forum Kesenian Melinting yaitu Zakaria, seperti yang tertulis dalam laman website partai nasdem (23/5/2015).
Menarik untuk kita kritisi prosesi pemberian gelar ini, baik dari sudut pandang adat Sai Batin maupun dari sudut situasi politik terkini di Provinsi Lampung, mengingat suasana menjelang pelaksanaan Pemilihan Gubernur Lampung tahun 2018 mulai menghangat, para bakal calon pun sudah mulai bergerak kesana kemari untuk mendulang dukungan, masuk dari segala lini dan tak malu-malu meski masuk pula lewat adat istiadat, demi menggaet konstituen, ya memang, karena ini pesta demokrasi bagi seluruh masyarakat Lampung, hak memilih pemimpin untuk provinsi paling selatan pulau Sumatra ini kedepan.
Provinsi Lampung dengan semboyannya Sang Bumi Ruwa Jurai memang telah kita ketahui bersama bahwa masyarakat adatnya menganut dua sistem, yaitu sistem kepenyimbangan dan kesaibatinan, sistem kepenyimbangan ini sebagian besar dipakai oleh masyarakat Abung Siwo Mego, Mego Pak Tulang Bawang, Buay Lima Way Kanan dan Pubian Telu Suku, begitu juga sistem kesaibatinan dipakai oleh masyarakat adat Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak dan juga Marga- Marga yang ada di Pesisir Barat, Tanggamus, Way Handak Lampung Selatan, dan Marga Melinting di Lampung Timur. Keberadaan lembaga adat pada masing-masing daerah di Lampung, baik itu Kepaksian, Marga atau Kebandaran memang telah ada lebih dahulu sebelum provinsi Lampung berdiri, keberadaaanya adalah sebagai wujud kelestarian adat istiadat dan tradisi yang diwariskan Nenek Moyang orang Lampung, bagi mereka yang berkedudukan sebagai Sai Batin Paksi, Sai Batin Marga, Sai batin Kebandaran, Penyimbang Mergo, Penyimbang Tiyuh atau Penyimbang Suku memiliki tugas turun temurun untuk mengayomi setiap masyarakat adatnya, menghormati setiap kedudukan dan menjalankan tata titi.
Nah, dengan melihat fenomena pemberian adok di Marga Melinting seperti yang telah disinggung diatas, maka dari sudut pandang Masyarakat Adat Sai Batin secara umum terdapat beberapa persoalan tak wajar, yaitu bahwa jika ditarik benang merahnya maka kaidah adok didalam adat saibatin itu adalah “ adok nitutuk tutukh, tutukh nutuk di jujjokh” artinya bahwa pada gelar melekat panggilan, dan panggilan disusuaikan dengan kedudukan, ini menunjukkan bahwa syarat utama seseorang diberikan adok adalah telah diserahkan kepadanya suatu kedudukan, tanpa kedudukan tak ada gelar, atau dengan kata lain tak ada gelar yang tak memiliki kedudukan. Kedudukan tertinggi disebuah marga adalah Kepala marga atau Sai Batin Marga maka dengannyalah seseorang digelari Suntan atau Pangeran. Jadi mana mungkin didalam adat sai batin, seseorang diberikan adok Pangeran akan tetapi tak memiliki kedudukan sebagai Sai Batin Marga ataupun Sai batin bandar.
Adat sai batin dipakai dan dijaga oleh masyarakat yang berada di sekitar Danau Ranau, sepanjang Pesisir Barat, Teluk Semaka Tanggamus, hingga Wilayah Selatan dekat selat Sunda. Semua marga-marga itu sangat ketat mengatur tentang “angkat tindih uncuk pangkal” suatu gelar, melalui musyawarah ( Hippun ) berjenjang oleh para tokoh adat. Apalagi terkait gelar Pangeran atau Suntan yang merupakan gelar kebangsawanan bagi seorang pemimpin Marga, begitu juga adok Sultan untuk kedudukan Sai Batin Paksi didalam Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak. Akan tetapi, sebetulnya bukan hanya adat Sai Batin yang memiliki tatanan yang ketat untuk sebuah gelar, masyarakat Pepadun sangat memperhatikan syarat-syarat yang berat untuk menetapkan seseorang menjadi seorang penyimbang atau menyandang sebuah gelar lewat upacara Cakak Pepadun.
( Baca Juga : Tata Petiti Adok Lampung )
Jadi, jika seorang tokoh adat atau Sai Batin memberi kedudukannya kepada orang lain yang tak memiliki garis ikatan darah dan tidak sesuai aturan adat, itu sama saja seperti “ Melok Galah “ atau memenggal leher sendiri, dan begitu juga jika seorang mengambil sesuatu yang bukan haknya atau mengenakan pakaian yang bukan pakaiannya sendiri disebut “ Bekhattih “ yang artinya Penyamun atau Pencuri, atau juga memakai pakaian tapi tidak pantas dan melebihi kapasitas “ makai kaway kebalakan “ disebut dengan “ Busuk Huwak”. Itu semua adalah pelanggaran didalam adat, bisa menyebabkan keturunannya nanti akan menanggung “tulah” dari nenek moyang disebabkan perilaku seseorang itu “ Nyapang Cempala “ atau melangkahi batas batas aturan adat atau tak mampu memegang amanah yang telah diwariskan nenek moyang.
Pomeo didalam masyarakat adat saibatin “ Minak lain Khadin lain, Batin Khaja juga lain, Temenggung lain munih, Sai Batin jawoh tangih, Kaci Nyelambok Dinar ya Tetop Kaci, Inton dilom Litak tetop Inton “, ini sebuah ungkapan yang merupakan teguran keras bagi seorang yang menyandang sesuatu yang bukan haknya, ibarat anjing walaupun berkalung dinar akan tetap disebut anjing, tapi walaupun intan didalam lumpur busuk sekalipun tetaplah intan.
Selain itu, penolakan pemberian gelar dari Tokoh Marga Melinting Rizal adok Sultan Ratu Idil Tihang Igama sebenarnya juga telah disampaikan oleh kakak sepupunya yaitu Nur Halim adok Minak Gejalo Ratu, kejadian tersebut terjadi saat Rizal memberi gelar kepada Bupati dan Kapolres Lamtim pada tanggal 21 April 2017. Minak Nur Halim bukanlah orang asing di Marga Melinting, beliaulah keturunan laki-laki tertua dari garis lurus Ratu Melinting, ia juga yang mewarisi Pusaka Anak Dalem yakni Pusaka Secembay, Secendik dan Si Jengguk Rawing, ketiga pusaka tersebut merupakan Pusaka Tertinggi didalam adat Melinting. Minak menegaskan agar praktek pemberian gelar dan semacamnya dibatalkan demi kesatuan dan persatuan keturunan. Lebih dari itu gelar Sultan yang di pakai Rizal juga sangat tidak sesuai didalam Adat Sai Batin sebab ia bukanlah berkedudukan sebagai Sai Batin Kepaksian, dan lagi ia bukanlah keturunan laki-laki tertua dari Ratu Melinting melainkan Nur Halim adok Minak Gejalo Ratu.
Dari sekian banyak pemberian gelar, lebih mengesankan seolah-olah adok Lampung adalah sesuatu yang begitu murahnya, dapat dengan mudah diberikan kepada siapapun asalkan dianggap penting bagi segelintir kepentingan para elit. Memang ini bukan “mainan” baru, setidaknya banyak tokoh yang diberikan adok, tetapi mari kita kroscek kembali, apa faedah bagi adat istiadat atas diobralnya adok-adok tersebut ?. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, marilah kita kembali mengintropeksi diri sejauh mana kita menjaga keluhuran adat Lampung, jangan sampai ada kesan bahwa adok hanyalah sebagai pemuas nafsu segelintir mereka yang disebut sebagai penyimbang kemawasan, seperti yang diistilahkan oleh alm. Irfan Anshory adok Batin Kesumaningrat tokoh adat dari Talangpadang, Tanggamus, yang sering memprotes praktek-praktek pemberian gelar tanpa memperhatikan kaidah adat.
Menurut hemat saya, penyimbang kemawasan yang dimaksud adalah siapapun yang tiba-tiba merasa menjadi seorang tokoh adat, tanpa memiliki wilayah adat, tanpa memiliki kedudukan adat, tanpa memiliki warisan pusaka apalagi masyarakat yang diayomi, kemudian berbuat sekehendak hati demi sesuatu yang sangat pragmatis yakni uang dan kekuasaan, ia tak lagi mementingkan keluhuran adat istiadat, tak lagi punya harga diri atau Pi’il Pesenggiri sebuah falsafah hidup Ulun Lampung.
*Seniman dan Pemerhati Budaya Lampung, Staff Pemandu Seni Budaya Anjungan Lampung TMII - Jakarta.
Comments
Post a Comment