ABAN GEMISIKH / AWAN GEMISEGH |
Aban Gemisir
merupakan salah satu perlengkapan adat yang menjadi bagian
dari tradisi peninggalan nenek moyang masyarakat Lampung, khususnya di Sekala Brak sebagai tempat bermulanya
adat saibatin di Provinsi Lampung. Aban Gemisir atau ada
pula yang menyebutnya Awan Gemiser merupakan sebuah alat
perlengkapan adat yang dihadirkan untuk seorang pimpinan adat atau saibatin
yang akan melakukan prosesi perjalanan adat seperti arak arakan atau disebut “ lapah buharak”, hingga saat ini perlengkapan adat tersebut masih
dianggap hal yang spesial atau terkhusus, sebab tidak sembarang orang bisa memakainya.
Untuk membuatnya
dirangkailah kayu dengan bentuk kubus, dibuat pegangan pada setiap sudutnya dan kemudian dihias dengan kain kain
pedandanan khas adat saibatin sekala
brak, untuk ukuran ruang kubus biasanya seukuran yang bisa
dimasuki empat orang dewasa, sedangkan kain penghias yang digunakan untuk
Aban Gemisir diantaranya adalah kain selindang
miwang atau selindang balak, kain sulam benang emas ambumbak dan lelangsi, jiwang
ratu, dan dibagian atasnya ditutupi dengan kain disebut leluhokh yang berfungsi sebagai penghias dan juga untuk menaungi orang yang berada didalam dari sinar matahari langsung.
Adapun kedudukan
perlengkapan adat ini adalah sebagai
tanda kebesaran seorang saibatin, menunjukkan eksistensi seorang saibatin
ditengah masyarakat adatnya,
selain
itu juga Aban Gemisir ini sebagai wujud
kecintaan dan penghormatan masyarakat
kepada pimpinan adatnya. Dilihat dari azas yang dianut didalam adat Paksi Pak
Sekala Brak yaitu Saibatin Lulus Kawai
yang maknanya adalah sesuatu yang dikenakan oleh orang tua secara otomatis
dikenakan pula oleh anaknya, maka segala hal yang dipakai orang tuanya seperti
adok, kedudukan, panggilan, bentuk bubungan rumah kawik buntokh, alat di badan,
adat di lamban, dan alat di lapahan yang salah satunya
adalah Aban Gemisikh, adalah warisan hak miliki anak keturunannya.
SPDB Pangeran
Edward Syah Pernong adok Sultan Sekala Brak Yang Dipertuan ke XXIII memberi
penjelasan bahwa para saibatin Paksi Pak Sekala Brak telah mewarisi segala
ketentuan adat di Sekala Brak semenjak puluhan generasi terdahulu selama berabad-abad
yang lalu, menjalankan amanah semenjak Para Umpu Paksi bertahta di Pesagi,
mengenai Aban Gemisir adalah merupakan hak milik dan hak pakai bagi seorang
saibatin di Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak, dalam kesempatan tertentu boleh
untuk dipakaikan kepada orang lain dengan syarat telah mendapatkan restu dari
Saibatin. Didalam perkembangannya ketika berdirinya marga-marga dan bandar
bandar diwilayah pesisir, masing-masing marga dan bandar tersebut dipimpin oleh
seorang pesirah atau saibatin, maka Aban Gemisir juga dipakai oleh para
peminpin marga sebagai salah satu symbol kebesaran adat saibatin yang tetap
dipertahankan.
Dari penjelasan
diatas dapat kita ketahui bahwa peraturan adat mengenai Aban Gemisir sangatlah
ketat, karena hanya orang yang berkedudukan sebagai Saibatin Paksi Pak Sekala
Brak dan Saibatin Marga, atau bagi orang yang telah memiliki izin dengan segala
syarat ketentuan dari Saibatin yang boleh memakainya, oleh karena itu
masyarakat adat saibatin sangat menjaga martabat diri dari rasa malu atau liom pesenggiri jika mengenakan suatu
ketentuan adat yang tidak semestinya ia pakai.
Tatanan adat
selanjutnya adalah bahwa pemakaian Aban Gemisir ini tidak bisa berdiri sendiri
tanpa adanya rangkaian prosesi dan perlengkapan adat lainnya, seperti prosesi
tari pedang untuk memulai perjalanan setelah saibatin memasuki Aban Gemisir,
pencak silat terakot ketika dalam perjalaan, prosesi Lalamak Titi Kuya yaitu
berjalan diatas talam kuningan setelah saibatin keluar dari alam gemisir.
Selain itu ada pula perlengkapan adat
yang mengiringi seorang saibatin yang sedang berada didalam Aban Gemisir
seperti Payung Agung, pusaka pedang berbaris, lampit pesirehan, tungkok penetap
imbor, pusaka tombak berbaris, pepanji Al-Liwa berbaris, dan lainnya. Dengan
demikian menghadirkan satu perlengkapan adat akan berkaitan dengan perangkat
adat lainnya, oleh karena itu pemakaian Aban Gemisir harus memperhatikan
tatanan adat yang ada.
Selain hal yang
mengatur tentang tatanan adat diatas, yang harus tetap dilestarikan dan
dipertahankan, ada hal penting lainnya yang perlu untuk dihayati dari sebuah peninggalan kebudayaan lama. Ada nilai-nilai keislaman
dari sebuah praktek tradisi Aban Gemisir ini, yang merupakan titik temu antara syiar
islam dengan tradisi local. Dari segi bahasa Lampung maka Aban Gemisir dapat
diartikan dengan awan yang bergeser, ini mengingatkan kita kepada siroh nabawiyah
dimana ketika nabi melakukan perjalanan, awan menaungi beliau memberikan
kesejukan, itulah salah satu tanda kemuliaan dan kenabian. Selain itu juga Aban
Gemisir mengingatkan kita pada empat sahabat Nabi yang disebut khulafaur
rasyidin, itulah mengapa aban gemisir tidak dibuat bundar selayaknya payung
namun dibentuk segi empat dan diangkat oleh empat orang pada setiap sudutnya.
Nilai-nilai agam
islam yang dibawa oleh para pendakwa di bumi sekala brak memberi warna dalam
kebudayaan local, mereka datang dari Pasai ( terdapat satu kampung di Sekala
Brak yang bernama Ranji Pasai asal kata Ram
Ji Jak Pasai artinya kita ini dari pasai ). Setelah para pendakwah mampu menaklukkan
Kerajaan Sekala Brak kuno maka kemudian
berdirilah Paksi Pak Sekala Brak. Nilai –nilai agama islam mulai ditegakkan
dengan tegas, sesembahan masyarakat di Sekala brak berupa Kayu Besar Melasa
Kepampang ditebang kemudian dijadikan tempat duduk, disini tersirat maksud dari
Para Umpu kala itu bahwa kayu besar itu bisa diduduki dan bukanlah Tuhan Yang
Maha Tinggi. Kemudian seiring berjalannya waktu kebudayaan islam tumbuh subur
di Bumi Sekala Brak, seperti ada bediker dan hadra
suatu seni tetabuhan dengan lantunan shalawat dari kitab barzanji, tradisi malaman pitu likukh saat bulan puasa,
tradisi silaturahmi Pesta Sekura Cakak
Buah diawal bulan syawal untuk merayakan hari besar islam Idul Fitri,
tradisi betammat atau khataman
alqur’an bagi mulli temekhanjak atau
wanita yang beranjak dewasa, dan masih banyak lagi lainnya.
Aban Gemisir pada
kenyataannya memang lebih terkesan sebagai peninggalan tradisi islam, menurut Dr. Harya Ramdhoni Julizaryah selaku Saibatin Marga
Liwa bahwa Awan Gemiser adalah salah satu perangkat adat Sai Batin yang
masih bertahan hingga kini merupakan hasil akulturasi budaya peperangan Islam
dari jazirah Arab (Kana’an dan Syam) yang terinternalisasi di dalam adat
Lampung Sai Batin melalui perantaraan kaum ekspeditor muslimin dari Samudera
Pasai. Dari beberapa buku mengenai perang Sabil antara kaum muslimin melawan
kaum nasrani, terdapat gambar Salahuddin Al Ayubi atau Saladin menerima
penyerahan Yerusalem dari kaum Nasrani di bawah sebuah tenda yang amat mirip
dengan Awan Gemisir. Pada masa kerajaan Pasai
di bawah kekuasaan Meurah Silu atau Sultan Malik Al-Saleh, serombongan
pendakwah dari Kana’an dan Negeri Syam tiba di kerajaan tersebut. Apabila
mereka menemukan ternyata di wilayah Pasai dan Peureulak raja dan masyarakatnya
telah memeluk Islam kelompok pendakwah ini meninggalkan kerajaan tersebut dan
bertualang menuju selatan guna menyebarkan agama Islam kepada mayoritas
penduduk Sumatera yang masih menyembah berhala. Salah satu ekspedisi dakwah
tersebut adalah yang kemudian dikenal sebagai Empat Paksi yang datang ke tanah
Sekala Bgha guna menyebarkan agama Islam dan berakhir dengan kejatuhan kerajaan
Hindu-Animisme tersebut, kaum muslimin yang memenangkan pertempuran
menyerahkan bendera syahadat ( Al-Liwa ) kepada pihak yang kalah dibawah Aban Gemisir, kemudian Al Liwa
diabadikan menjadi nama sebuah daerah di Sekala Brak.
![]() |
Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo bersama Ketua DPRD Prov. Lampung bersama Jelma Balakni Saibatin sedang berada di dalam Awan Gemisikh Foto : teraslampung.com |
![]() |
Prosesi Lapahan Saibatin |
Penulis : Novan Saliwa ( Pemandu Seni Budaya Anjungan Lampung TMII )
Comments
Post a Comment