Paduka Yang Mulia, Sai Batin Puniakan Dalom Beliau
Drs. H. Pangeran Edward Syah Pernong., SH., MH.
Sultan Sekala Brak Yang Dipertuan Ke-XXIII
SEJAK kecil saya sudah tertarik dengan cerita tentang Tionghoa sehingga
disadari atau tidak banyak cerita Tionghoa yang menginspirasi saya, khususnya
tentang bela diri/silat, termasuk beberapa falsafah kehidupan yang mempunyai
nilai tinggi dalam kehidupan.
Saya mengenal falsafah Tionghoa seperti:
Quang-shi = mengembangkan hubungan yang erat.
Wei-chi = optimistis dalam menghadapi masalah.
Mian-zi = tidak boleh kehilangan kepercayaan.
Falsafah tersebut sejiwa dengan falsafah ulun Lampung, yakni:
Piil pesinggikhi: menjunjung dan menjaga martabat yang tinggi.
Sakai sambaian: kebersamaan; bergotong royong.
Nemui nyimah: saling bersilaturahmi.
Nengah nyappukh: membaur.
Juluk adok: memiliki kehormatan sesuai dengan gelar adat yang disandang.
Dengan mempelajari kesamaan makna dari ungkapan-ungkapan tersebut, saya kemudian menyadari pentingnya bekerja sama, membangun kesadaran bersama sebagai anak bangsa yang multietnik. Perbedaan warna kulit, suku, ras, agama perlu dipahami sebagai keragaman yang menyatukan, sebagai Bhinneka Tunggal Ika.
Perbedaan bila dipahami sebagai keragaman yang menyatukan akan menjadi energi yang sangat kuat untuk melakukan pembangunan, melahirkan karya-karya besar yang membanggakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hubungan antara warga etnis Tionghoa dan suku bangsa di Indonesia bukan baru dimulai saat ini, tapi sudah sangat lama. Belajar dari sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, kita mengetahui tidak sedikit sumbangsih saudara kita etnis Tionghoa untuk perjuangan kemerdekaan Republik ini.
Mereka ikut serta dalam revolusi kemerdekaan dengan ikhlas hati bersama saudara sebangsanya, dengan kesadaran bersama mempertahankan negara dan mengusir penjajah. Hal merupakan bukti bahwa etnis Tionghoa sejak dahulu telah memiliki nilai-nilai patriotisme.
Nilai-nilai patriotik itu tumbuh dan berkembang secara alamiah. Menguat dan mengkristal, dan kemudian secara dinamis melahirkan semangat berasimilasi, melebur menjadi bagian dari bermacam suku dan etnik yang ada di negeri ini.
Meneguhkan Komitmen Keindonesiaan
Marilah kita mulai memikirkan kondisi saat ini dan di sini. Saat ini, di wilayah Republik Indonesia, tak ada lagi istilah pribumi atau nonpribumi. Semua dari kita adalah bangsa Indonesia, warga negara Indonesia. Asal-usul adalah kuasa Allah, kita tak pernah meminta dilahirkan sebagai orang bangsa apa. Tapi faktanya, baik secara de jure maupun de facto, kita berada di Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia. Sebagai sesama orang Indonesia, kita adalah saudara.
Hubungan silaturahmi yang kita bangun saat ini, pada hakikatnya ialah hubungan kultural untuk memperteguh komitmen keindonesiaan kita. Saya sebagai Sai Batin Kepaksian Pernong Paksi Pak Sekala Bkhak, sebagai salah satu penanggung jawab masyarakat adat, ingin lebih mempertegas simbol-simbol yang muncul sebagai dasar terpeliharanya masyarakat adat.
Kita ingin mempertahankan dan memelihara tradisi yang di dalam tradisi tersebut terdapat nilai-nilai kearifan lokal. Dan nilai-nilai kearifan lokal yang sangat kental adalah kasih sayang, saling menolong, dan saling membela. Sifat kasih sayang itu merupakan upaya untuk menjaga kehormatan pribadi dan sesama. Upaya menjaga kehormatan itu harus dilaksanakan secara konsisten.
Konsistensi pelaksanaan amanah untuk menjaga kehormatan akan melahirkan keutuhan dan persatuan masyarakat, dengan mengedepankan karakteristik berakhlakul karimah. Bila karakter itu sudah tertanam kuat dalam jiwa tiap warga, semua orang dengan kesadaran penuh akan bangga dirinya menjadi bagian dari masyarakat adat.
Saya berharap mari kita semua mempertegas wawasan kebangsaan kita sebagai bangsa Indonesia. Dan juga, karena kita berada di Lampung, yang sangat kaya dengan falsafah dan nilai-nilai kearifan lokal, marilah kita semua sama-sama berperilaku dengan mengedepankan tata krama.
Dalam hal tata krama, perlu diingat bahwa kedudukan kebangsawanan seseorang dalam adat Lampung ditentukan berdasarkan trah/geneologis. Karena kedudukan seseorang dalam masyarakat adat Lampung didasarkan faktor geneologis, baik komunitas yang beradat Saibatin maupun Penyimbang, meneruskan pewarisan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat dengan baik dari generasi ke generasi hingga saat ini.
Selain faktor geneologis, masyarakat adat juga ditentukan oleh faktor geografis. Apabila etnik/suku lain bermukim dalam wilayah keadatan, wajiblah mereka menurut adat nyepok khang bindom/kilu angkon (mencari tempat bernaung). Dalam konteks inilah, ketika etnik/suku Tionghoa yang tergabung dalam Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi Lampung kilu angkon, saya sebagai Sultan Kepaksian Pernong Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Bkhak, Lampung tentu menyambut baik keinginan menyambung tali persaudaraan tersebut.
Niat baik itu kemudian ditindaklanjuti dengan digelarnya prosesi adat angkon muakhi, yakni pengakuan bersaudara antara etnik/suku Tionghoa yang tergabung dalam wadah PSMTI Provinsi Lampung dan masyarakat adat Saibatin. Acara yang berlangsung di Gedung Serbaguna (GSG) Pahoman, Bandar Lampung, pada 21 September 2015 tersebut, dari Kepaksian Pernong Sekala Bkhak dihadiri oleh perwakilan para Saibatin Marga dan bandar sepanjang pesisir, dan beberapa marga adat kepenyimbangan sebagai bentuk penerimaan terhadap acara yang merekatkan rasa persatuan dan kesatuan sebagai anak bangsa.
Hakikat dari prosesi angkon muakhi itu ialah etnik/suku Tionghoa yang berada di Provinsi Lampung telah menjadi bagian dari masyarakat adat yang mendiami tanah bumi pusaka Lampung tercinta, dan juga sebagai bagian dari NKRI.
Keberadaan saudara-saudara saya dari PSMTI saya sebut sebagai puakhi pungsu atau saudara bungsu yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama, sebagai bagian sebuah keluarga besar masyarakat adat sehingga tidak ada lagi istilah termarginalkan bagi suatu komunitas masyarakat di tanah Lampung.
Peristiwa angkon muakhi etnik/suku Tionghoa dengan suatu komunitas masyarakat adat Lampung merupakan suatu peristiwa kekinian yang menggambarkan betapa etnik/suku Tionghoa secara konsisten dan berkesinambungan berupaya dan terus berjuang merekatkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Selain itu, sebagai salah satu putra daerah Lampung, saya juga meminta dan mengharapkan agar berbagai paguyuban sosial seperti PSMTI, betul-betul dapat menjadi salah satu wadah dan sarana memperkuat rasa nasionalisme, menabur kebajikan, memberikan perhatian, ikut berbagi rasa dan memiliki kepedulian antarsesama, lintas etnik dan lintas agama yang secara langsung ataupun tidak langsung akan menghilangkan kesan eksklusif dari etnik/suku Tionghoa.
Saya bangga menjadi orang Lampung, saya senang masyarakat adat Lampung telah menjadi bersaudara dengan etnik Tionghoa. Dan karena itu, saya bangga dan senang menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Saya mengenal falsafah Tionghoa seperti:
Quang-shi = mengembangkan hubungan yang erat.
Wei-chi = optimistis dalam menghadapi masalah.
Mian-zi = tidak boleh kehilangan kepercayaan.
Falsafah tersebut sejiwa dengan falsafah ulun Lampung, yakni:
Piil pesinggikhi: menjunjung dan menjaga martabat yang tinggi.
Sakai sambaian: kebersamaan; bergotong royong.
Nemui nyimah: saling bersilaturahmi.
Nengah nyappukh: membaur.
Juluk adok: memiliki kehormatan sesuai dengan gelar adat yang disandang.
Dengan mempelajari kesamaan makna dari ungkapan-ungkapan tersebut, saya kemudian menyadari pentingnya bekerja sama, membangun kesadaran bersama sebagai anak bangsa yang multietnik. Perbedaan warna kulit, suku, ras, agama perlu dipahami sebagai keragaman yang menyatukan, sebagai Bhinneka Tunggal Ika.
Perbedaan bila dipahami sebagai keragaman yang menyatukan akan menjadi energi yang sangat kuat untuk melakukan pembangunan, melahirkan karya-karya besar yang membanggakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hubungan antara warga etnis Tionghoa dan suku bangsa di Indonesia bukan baru dimulai saat ini, tapi sudah sangat lama. Belajar dari sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, kita mengetahui tidak sedikit sumbangsih saudara kita etnis Tionghoa untuk perjuangan kemerdekaan Republik ini.
Mereka ikut serta dalam revolusi kemerdekaan dengan ikhlas hati bersama saudara sebangsanya, dengan kesadaran bersama mempertahankan negara dan mengusir penjajah. Hal merupakan bukti bahwa etnis Tionghoa sejak dahulu telah memiliki nilai-nilai patriotisme.
Nilai-nilai patriotik itu tumbuh dan berkembang secara alamiah. Menguat dan mengkristal, dan kemudian secara dinamis melahirkan semangat berasimilasi, melebur menjadi bagian dari bermacam suku dan etnik yang ada di negeri ini.
Meneguhkan Komitmen Keindonesiaan
Marilah kita mulai memikirkan kondisi saat ini dan di sini. Saat ini, di wilayah Republik Indonesia, tak ada lagi istilah pribumi atau nonpribumi. Semua dari kita adalah bangsa Indonesia, warga negara Indonesia. Asal-usul adalah kuasa Allah, kita tak pernah meminta dilahirkan sebagai orang bangsa apa. Tapi faktanya, baik secara de jure maupun de facto, kita berada di Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia. Sebagai sesama orang Indonesia, kita adalah saudara.
Hubungan silaturahmi yang kita bangun saat ini, pada hakikatnya ialah hubungan kultural untuk memperteguh komitmen keindonesiaan kita. Saya sebagai Sai Batin Kepaksian Pernong Paksi Pak Sekala Bkhak, sebagai salah satu penanggung jawab masyarakat adat, ingin lebih mempertegas simbol-simbol yang muncul sebagai dasar terpeliharanya masyarakat adat.
Kita ingin mempertahankan dan memelihara tradisi yang di dalam tradisi tersebut terdapat nilai-nilai kearifan lokal. Dan nilai-nilai kearifan lokal yang sangat kental adalah kasih sayang, saling menolong, dan saling membela. Sifat kasih sayang itu merupakan upaya untuk menjaga kehormatan pribadi dan sesama. Upaya menjaga kehormatan itu harus dilaksanakan secara konsisten.
Konsistensi pelaksanaan amanah untuk menjaga kehormatan akan melahirkan keutuhan dan persatuan masyarakat, dengan mengedepankan karakteristik berakhlakul karimah. Bila karakter itu sudah tertanam kuat dalam jiwa tiap warga, semua orang dengan kesadaran penuh akan bangga dirinya menjadi bagian dari masyarakat adat.
Saya berharap mari kita semua mempertegas wawasan kebangsaan kita sebagai bangsa Indonesia. Dan juga, karena kita berada di Lampung, yang sangat kaya dengan falsafah dan nilai-nilai kearifan lokal, marilah kita semua sama-sama berperilaku dengan mengedepankan tata krama.
Dalam hal tata krama, perlu diingat bahwa kedudukan kebangsawanan seseorang dalam adat Lampung ditentukan berdasarkan trah/geneologis. Karena kedudukan seseorang dalam masyarakat adat Lampung didasarkan faktor geneologis, baik komunitas yang beradat Saibatin maupun Penyimbang, meneruskan pewarisan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat dengan baik dari generasi ke generasi hingga saat ini.
Selain faktor geneologis, masyarakat adat juga ditentukan oleh faktor geografis. Apabila etnik/suku lain bermukim dalam wilayah keadatan, wajiblah mereka menurut adat nyepok khang bindom/kilu angkon (mencari tempat bernaung). Dalam konteks inilah, ketika etnik/suku Tionghoa yang tergabung dalam Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi Lampung kilu angkon, saya sebagai Sultan Kepaksian Pernong Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Bkhak, Lampung tentu menyambut baik keinginan menyambung tali persaudaraan tersebut.
Niat baik itu kemudian ditindaklanjuti dengan digelarnya prosesi adat angkon muakhi, yakni pengakuan bersaudara antara etnik/suku Tionghoa yang tergabung dalam wadah PSMTI Provinsi Lampung dan masyarakat adat Saibatin. Acara yang berlangsung di Gedung Serbaguna (GSG) Pahoman, Bandar Lampung, pada 21 September 2015 tersebut, dari Kepaksian Pernong Sekala Bkhak dihadiri oleh perwakilan para Saibatin Marga dan bandar sepanjang pesisir, dan beberapa marga adat kepenyimbangan sebagai bentuk penerimaan terhadap acara yang merekatkan rasa persatuan dan kesatuan sebagai anak bangsa.
Hakikat dari prosesi angkon muakhi itu ialah etnik/suku Tionghoa yang berada di Provinsi Lampung telah menjadi bagian dari masyarakat adat yang mendiami tanah bumi pusaka Lampung tercinta, dan juga sebagai bagian dari NKRI.
Keberadaan saudara-saudara saya dari PSMTI saya sebut sebagai puakhi pungsu atau saudara bungsu yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama, sebagai bagian sebuah keluarga besar masyarakat adat sehingga tidak ada lagi istilah termarginalkan bagi suatu komunitas masyarakat di tanah Lampung.
Peristiwa angkon muakhi etnik/suku Tionghoa dengan suatu komunitas masyarakat adat Lampung merupakan suatu peristiwa kekinian yang menggambarkan betapa etnik/suku Tionghoa secara konsisten dan berkesinambungan berupaya dan terus berjuang merekatkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Selain itu, sebagai salah satu putra daerah Lampung, saya juga meminta dan mengharapkan agar berbagai paguyuban sosial seperti PSMTI, betul-betul dapat menjadi salah satu wadah dan sarana memperkuat rasa nasionalisme, menabur kebajikan, memberikan perhatian, ikut berbagi rasa dan memiliki kepedulian antarsesama, lintas etnik dan lintas agama yang secara langsung ataupun tidak langsung akan menghilangkan kesan eksklusif dari etnik/suku Tionghoa.
Saya bangga menjadi orang Lampung, saya senang masyarakat adat Lampung telah menjadi bersaudara dengan etnik Tionghoa. Dan karena itu, saya bangga dan senang menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Jayalah negeriku tercinta Indonesia.
Comments
Post a Comment