Skip to main content

Angkon Muakhi dan Filosofi Sang Bumi Ruwa Jurai



Oleh :
Paduka Yang Mulia, Sai Batin Puniakan Dalom Beliau
Drs. H. Pangeran Edward Syah Pernong, SH., MH
SULTAN SEKALA BRAK YANG DIPERTUAN KE-XXIII

Menurut catatan sejarah dari para peneliti, hubungan antara bangsa Melayu dan Bangsa Tiongkok sudah terbangun sejak abad pertama masehi. Dan secara spesifik, hubungan bangsa Tiongkok dengan orang Lampung sudah terbina sejak abad V. Dalam catatan Sumadio, dalam bukunya Zaman Kuno: Sejarah Nasional Indonesia II, saat Tiongkok di bawah Dinasti Liang (502-556), orang-orang Lampung telah menjalin hubungan bisnis dengan bangsa Tiongkok. Dari Lampung mereka membawa emas, kopi,  lada, cengkih, damar, emas, dan rempah-rempah lain. Orang Lampung yang datang ke Tiongkok disambut dengan baik, sehingga terbina hubungan dagang yang saling menguntungkan.

Groenevelt dalam bukunya yang sangat terkenal, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, menulis tentang Kerajaan Kenali yang menghasilkan pakaian yang berbunga, damar, kapas, pinang dan kapur barus, barang-barang ini adalah yang diperdagangkan dengan Tiongkok. Kerajaan Kenali merujuk pada sebuah kerajaan yang berpusat di kecamatan Belalau Kabupaten Pesisir Barat, atau lebih dikenal dengan Sekala Brak.

Salah satu bukti hubungan tersebut dikemukakan oleh Sebagai penghasil komoditas lada, cengkih, damar, emas, dan rempah-rempah lainnya, Lampung dapat dikatakan sebagai salah satu daerah tempat tujuan para pedagang Tionghoa untuk memperoleh bahan perdagangan yang laku di pasar internasional.


Hubungan Lampung dan Turki

Memeluk Islam bagi primitif berarti lompatan pada peradaban. Lompatan dari eksistensi menyedihkan yang tak ada lagi kesusilaan dan martabat ke eksistensi yang penuh eksistensi dan martabat, serta memperindahnya dengan produk seni dan seni Islam (Isma’il Raji Al Faruqi, Lois Lamya Al Faruqi : 2003). Yang dimaksud primitif dalam tulisan Ismail dan Lamya Al Faruqi itu ialah suku-suku di Lembah Sungai Melayu yang berperilaku kanibal, melembagakan kurban manusia, dan membunuh bayi. Pada sejarah Lampung kuno, tradisi dari eksistensi menyedihkan itu dilakukan oleh Suku Tumi.

Kondisi seperti itu terus berlangsung hingga Islam masuk ke wilayah Sumatera, dari Arab. Hubungan dan koloni Arab di Sumatera itu, tujuannya selain menyebarkan agama Islam juga untuk melangsungkan perdagangan dengan China. Menurut Al Faruqi, Islam masuk ke Palembang, Sumatera Selatan, dan Jawa Utara pada paruh pertama abad 14, setelah Islam mengakar kuat di Lampung.

Berbeda dengan Al Faruqi, Azyumardi Azra, justru menganggap hubungan Kepulauan Nusantara dengan Arab sudah berlangsung sejak abad ke 7 M. Merujuk pada caatan-catatan China, Azyumardi menyatakan terdapat perkampungan Arab-Muslim di pesisir pantai Sumatera. Orang-orang Arab itu bermukim dan menikah dengan penduduk lokal (Azyumardi Azra : 1998). Masuknya empat Umpu putra dari Ratu Ngegalang Paksi di Sekala Brak (Lampung Barat) bisa memperkuat hipotesis ini.

Terlepas dari persoalan waktu kedatangan orang Arab, dari catatan Al Faruqi dan Azyumardi itu, terbaca bahwa wilayah Sumatera, termasuk Lampung, telah lama menjalin hubungan politik-ekonomi dengan Jazirah Arab dan China. Pelayaran Fa Hien dan I Tsing yang melintasi Lampung, merupakan bukti yang memperkuat hipotesis itu. Dan tampaknya hubungan Lampung dengan Jazirah Arab lebih terfokus pada penyebaran agama Islam, hubungan ini terus berlanjut hingga kekuasaan Turki Utsmani. Sedang dengan China terfokus pada bidang ekonomi-perdagangan.

Hubungan yang kuat antara kerajaan Islam Nusantara dengan Turki Utsmani itu, dilaporkan oleh Snouck Hurgrounye, bahwa rakyat Nusantara pada umumnya menganggap Stambol (Istanbul) sebagai tempat kedudukan raja (Khalifat umat Islam) (Deliar Noer : 1991). Relasi keagamaan dan akhirnya politik antara Kerajaan di Nusantara dengan Turki dapat dilihat dari hubungan penggunaan gelar Sultan dari raja-raja di Nusantara. Kerajaan Nusantara bekerjasama dengan Turki Utsmani untuk memerangi kaum penjajah Eropa yang akan menguasai Nusantara. Kerja sama itu ditandai dengan dikirimnya utusan raja ke Turki. Dan sebagai bentuk pengakuan, Turki menganugerahkan gelar Sultan pada raja di Nusantara. Hubungan ini tampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan. Sebagai contoh, penganugerahan gelar Sultan dari Turki untuk Abdul Qadir dari Kesultanan Banten (1638 M). Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram (1641 M)

Pemimpin tertinggi di Kerajaan Sekala Brak, semula menggunakan gelar Umpu, Ratu, pangeran, atau gelar sejenis yang bersumber dari bahasa Nusantara rumpun bahasa Melayu. Melalui cerita lisan, terdapat informasi sejak masuknya Belanda terjadi perubahan penggunaan gelar pada Paksi Pak Sekala Brak. Belanda mengeluarkan aturan yang melarang Paksi Pak Sekala Brak menggunakan gelar-gelar kerajaan.  Taktik Belanda itu bertujuan memperlemah hubungan para Pimpinan Paksi Pak Sekala Brak dengan rakyatnya. Di sisi lain, larangan itu juga bertujuan untuk memecah belah rakyat Lampung. Terbukti setelah itu Belanda mengeluarkan peraturan tentang marga-marga di Lampung.

Penggunaan kata Sultan baru terjadi pada akhir abad 19 atau awal abad 20. Sebagai contoh, Pada Paksi Buay Pernong, gelar Sultan baru dipakai pada Sutan Makmur Dalom Nata Diraja (1904). Atau di Paksi Buay Nyerupa gelar Sultan mulai dipergunakan pada Merah Hakim, dengan sebutan Sultan Ali Akbar. Mungkinkah gelar Sultan itu digunakan setelah Paksi Pak Sekala Brak menjalin aliansi strategis dengan Turki Utsmani? Masih perlu dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut.

Penggunaan gelar Sultan pada Kepaksian Pernong, menurut kisah lisan, dimulai saat Dalom Haji Merah Dani menunaikan ibadah ke Tanah Suci, 1899. Perjalanan berhaji itu dilanjutkan dengan mengunjungi Istambul Turki untuk menjalin aliansi dengan kekhalifahan Turki Utsmani. Dari muhibah itu Dalom Haji Merah Dani mendapatkan pengesahan Sultan, dan memperoleh cendera mata berupa sepasang pedang Constantinopel serta bendera berlambang kalimat Shadat.

Sepulang dari Ibadah Suci itu, maka Dalom Haji Merah Dani memakai gelar Sultan Haji Harmain Makmur Dalom Natadiraja. Penggunaan gelar Sultan yang dilakukan secara terbuka itu ternyata dibiarkan oleh Belanda. Penggunaan gelar Sultan kemudian berlanjut pada putra sulung Sultan Haji Harmain Makmur Dalom Natadiraja, yaitu Pangeran Suhaimi, yang naik tahta dengan gelar Sultan Lela Muda Pemuka Agung Dengian Paksi.


Angkon Muakhi, Merajut Kebangsaan

Bagian awal tulisan ini, seperti sudah diurai di atas, merupakan pengantar untuk memberi penjelasan tentang prosesi adat Angkon Muakhi pada Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI), setahun lalu. Angkon Muakhi tersebut ditandai dengan deklarasi “Pengakuan Saudara” dan penyematan pin Sekala Brak kepada pengurus PSMTI. Bahwa relasi Lampung dengan dunia Arab dan China sebenarnya sudah berjalan lama, dan karena itu Angkon Muakhi yang dilakukan, merupakan upaya merajut kembali sejarah dan budaya masa lalu dengan penyesuaian masa kini.

Sang (Say) Bumi Ruwa Jurai, merupakan filosofi dasar Provinsi Lampung, yang terlahir dengan latar belakang  sejarah, budaya, dan gagasan besar yang hendak dicapai masyarakat Lampung. Filosofi Sang (Say) Bumi Ruwa Jurai tersebut merupakan pemahaman mendalam atas kondisi masyarakat Lampung yang memiliki dua akar kultural : asli dan pendatang. Kultur asli pun terdiri atas dua subkultur : subkultur Saibatin, dan subkultur Pepadun. Dua subkultur tersebut secara bersama-sama membentuk kultur Lampung “asli”. Kemudian dengan migrasinya penduduk dari wilayah lain yang memiliki kultur sendiri ke Lampung, melahirkan proses akulturasi, akulturasi, dan asimilasi. Dari proses perubahan sosial itu melahirkan dua lapisan masyarakat Lampung, yaitu “Pendatang” dan “Asli”. Keduanya menjadi subkultur dari kultur Lampung yang baru.

Di sisi lain, Sang (Say) Bumi Ruwa Jurai sendiri menggambarkan proses yang berlangsung terus menerus pada masyarakat Lampung, sehingga menjadikan masyarakat Lampung sebagai masyarakat yang terbuka dalam menerima orang lain, atau menerima kultur lain. Dan hal terpenting, dari filosofi Sang (Say) Bumi Ruwa Jurai itu mengandung harapan akan kondisi ideal masyarakat Lampung yang aman, damai, berbeda dalam persatuan dan bersatu dalam perbedaan. Sikap akomodatif, saling terima dengan tangan terbuka, bisa menjadi modal berharga untuk pembangunan Provinsi Lampung.

Proses perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Lampung berjalan dengan aman dan damai, praktis tanpa menimbulkan gejolak yang berarti. Hal itu terjadi karena masyarakat Lampung “asli” memiliki piil pesenggiri, tata perilaku yang didasari oleh ketinggian etika. Sedang masyarakat pendatang khususnya yang berasal dari Jawa memiliki Tata Krama, aturan perilaku.

Interaksi individu maupun kelompok yang berlandaskan komitmen moral tersebut menjadi spirit baru bagi pembangunan Lampung. Namun dalam perjalanan waktu, interaksi individu dan sosial yang berlandaskan komitmen moral itu mulai dipengaruhi oleh sikap pragmatis-transaksional. Sikap pragmatis dan transaksional itu melahirkan kecemburuan, sikap curiga, dan abai terhadap peran sosial. Hal itulah yang kemudian beberapa kali menimbulkan gesekan kepentingan yang kemudian disalahtafsirkan sebagai konflik etnik.

Oleh sebab itu perlu upaya yang tersistematis dan terstruktur untuk meminimalisir perilaku dan sikap pragmatis-transaksional, untuk menghindari konflik sosial. Upaya yang tersistematis dan terstruktur tersebut dilakukan dengan berpedoman pada kearifan lokal masyarakat Lampung, dengan memerhatikan kondisi sosial, melibatkan peran masyarakat, serta berorientasi pada pembangunan Lampung.

Membangun (Kembali) Kebudayaan Lampung

Setelah Indonesia merdeka, tahun 1945, maka seluruh kerajaan Nusantara bergabung dengan NKRI. Kerajaan sebagai kesatuan politik telah lebur menjadi bagian dari Indonesia. Namun, kerajaan sebagai kesatuan budaya, masih kuat berakar dan berfungsi. Maka menjadi pertanyaan, bagaimana kebudayaan Lampung, baik yang bersumber dari Sai Batin, Pepadun, Tulang Bawang, dan pendatang dapat terus dijaga, dipelihara, dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi penerus? Bagaimanapun, kebesaran sebuah bangsa tergantung pada peradaban dan kebudayaannya. Bangsa yang memiliki peradaban dan kebudayaan unggul, akan tetap menjadi bangsa yang unggul bila tiap warga bangsa mau memelihara kebudayaan yang dimiliki tersebut. Sebaliknya, bangsa yang unggul akan hancur, bila kebudayaan dan peradabannya tak dijaga. Dan Lampung termasuk bangsa yang memiliki peradaban yang unggul, karena masyarakat Lampung memiliki huruf sendiri, Kaganga. Bangsa yang memiliki huruf/aksara tersendiri, pasti memiliki tradisi literasi yang bagus. Dan bangsa yang memiliki tradisi literasi, menunjukkan keunggulan peradabannya.

Kebudayaan merupakan proses yang terus-menerus berjalan, seiring dengan kemajuan yang diciptakan manusia sebelumnya. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan proses kreatif untuk memenuhi kebutuhan manusia demi menggapai gagasan luhur yang diharapkan.

Sebuah masyarakat atau suku bangsa, akan hidup dengan kebudayaannya, selama kebudayaan ‘asli’ itu dapat menjawab tantangan yang dihadapi oleh para pengusungnya. Namun bila tantangan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka manusia dengan kemampuannya beradaptasi, akan mencari kebudayaan lain, yang dinilai dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Proses tarik-menarik tersebut sering kemudian diistilahkan dengan infiltrasi budaya asing pada budaya setempat.

Kebutuhan jelas merupakan keniscayaan hidup, oleh sebab itu kebudayaan yang tidak sanggup memenuhi tuntutan kehidupan akan ditinggalkan oleh para pengusungnya. Dan lama-kelamaan budaya setempat akan hilang sama sekali digantikan oleh kebudayaan asing. Proses tersebut melahirkan apa yang disebut kondisi ‘gegar budaya’. Gegar budaya akan membuat manusia pengusungnya akan kehilangan identitas kebudayaannya, bagai manusia tanpa rumah, ia tak memiliki hak apapun, kecuali menjalankan kewajiban yang dibebankan orang lain kepadanya.

Dengan pembahasan di atas, kita akan melihat relevansi dari filosofi Sang (Say) Bumi Ruwa Jurai. Sang (Say) Bumi Ruwa Jurai sebagai filosofi dasar provinsi Lampung, didefinisikan sebagai satu bumi dua aliran, yaitu “asli dan pendatang”. Sang bumi sendiri dimaknai sebagai tanah Lampung, sehingga siapapun yang berada di tanah Lampung harus berpedoman pada prinsip persatuan Sang (Say) Bumi Ruwa Jurai. Dengan prinsip tersebut, maka tidak boleh ada perilaku dan sikap rasial dan diskriminatif. Semua yang berada di bumi Lampung tak boleh menganggap diri dan kelompok/marganya lebih baik dari pihak lain. Dengan prinsip di atas, idealnya terjadi sikap saling menghormati antarjurai atau antar kelompok masyarakat.

Dalam perkembangannya, masyarakat yang tinggal di Lampung bukan hanya multikultur dan muktietnik, namun juga multiagama, secara politik juga multipartai. Faktor ekonomi seperti sudah disinggung di atas, justru sering menjadi pemicu ketegangan antar kelompok yang ada di Lampung. Oleh sebab itu diperlukan upaya-upaya dialog agar problem ekonomi tidak diseret ke ranah etnik/kultur/agama.

Comments

Popular posts from this blog

Dua Bangsawan Sekala Brak Mendapat Promosi Jabatan di TNI dan POLRI

Masyarakat Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak kembali bersyukur,  karena dua putra terbaiknya mendapatkan amanah yang besar untuk mengabdi pada Negara dan Bangsa. Setelah Brigjend. Pol. Purn. Pangeran Edward Syah Pernong mengabdi menjadi Kapolda di Tanah Lampung,  disusul kemudian  Irjen. Pol. Dang Gusti Dr. Ike Edwin.  Kali ini kehangguman itu berlanjut dengan kenaikan pangkat Atin Tomsi Tohir Balaw yang telah mendapat kepercayaan dari pimpinan Polri berupa promosi jabatan Brigadir Jendral Polisi dengan jabatan baru sebagai Karowassidik Bareskrim Polri.  Teriring Doa kami seluruh keluarga besar semoga selalu Amanah dan dimudahkan serta senantiasa dilindungi Allah SWT dalam tugas yang diemban pada perjalanan karier selanjutnya ke depan. Atin Tomsi bagi kami adalah salah satu putra kebanggaan tanah Lampung, putra sulung dari bapak batin Almarhum H. Kol. CKU M. Tohir Ismail Balaw, SE.MBA., dan Ina Batin Hajjah Maryam Zanariah, BA. binti Pangeran Soehaimi...

Pangeran Alprinse Syah Pernong Hadiri Pengukuhan Guru Besar UNDIP

Prof Eko Suponyono secara khusus mengundang Pangeran Alprinse karena beliau begitu bersahabat, setiap kali profesor ke jakarta, selalu pangeran yang menemaninya makan dan jalan-jalan, juga termasuk kalau ada kegiatan seminar, maupun saat promosi doktor dan profesornya, Pangeran datang ditemani pengasuhnya minan fitri dari Marga Keratuan Way Handak Lampung Selatan,  sampai di semarang disambut Panglima Panggittokh Alam Tanggamus Hengky Ashnari SH, MH, yg seharinya adalah anggota DPR Kab. Klaten, panglima menemani pangeran saat pengukuhan guru besar Prof. Eko Soponyono SH. MH di Universitas Diponegoro. Didalam acara pengukuhannya, pada hari S abtu (9/9/2017),  Prof. Eko Soponyono membacakan orasi terkait hasil penelitiannya dengan judul Hikmah Alquran Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Demi Mewujudkan Keadilan Religius. Penelitian Prof. Eko itu terinspirasi penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru untuk menggantikan KUHP peninggalan pemerintah kolon...

PANGERAN SUHAIMI

Pangeran Suhaimi Mengabdi Untuk Negara dan Adat Istiadat Sultan Pangeran Suhaimi Pangeran Suhaimi adalah salah satu putra terbaik dari bumi Lampung, beliau lahir di Kecamatan Belalau Lampung Utara (kala itu) pada tahun 1908, beliau adalah putra Depati Merah Dani atau dikenal Hi. Harmain gelar Sultan Makmur. Pangeran Suhaimi Dimakamkan dalam suatu upacara militer di Taman Makam Pahlawan Kedaton Bandar Lampung. Bertindak sebagai inspektur Upacara adalah Kasi Politik Korem 043 Garuda Hitam Mayor Yusuf, serta dihadiri oleh Sekwilda Alimudin Umar, SH yang mewakili Gubernur Lampung dan juga salah seorang keluarga besar dari Pangeran Suhaimi. Turut hadir juga dalam upacara pemakaman Walikotamadya Drs. Zulkarnain Subing, Ketua DPRD Kodya Bandar Lampung. Adalah Pangeran Suhaimi salah satu putera daerah yang meninggalkan jejak pengabdian untuk tanah Lampung, baik selaku abdi masyarakat dalam pemerintahan begitu juga sebagai pejuang dalam pertempuran melawan penjajah. Selain i...